Cuap-cuap tentang Kebaya : Kebayanisasi Tien Soeharto dan Paham Ibuisme Negara

Alia Adzhane
4 min readFeb 4, 2023

--

Ibu Tien bersama Himpunan Wanita Indonesia

Rezim Orde Baru sampai sekarang masih jadi salah satu masa periode sejarah Indonesia favorit saya untuk ditelusuri.

Rasanya tidak mungkin bisa menutup mata sebelum menemukan jawaban ditengah kompleksitas semua latar belakang yang menyebabkan peristiwa tersebut timbul. Namun, setiap kali otak bermain memikirkan implikasi dari semua insiden di Orde Baru justru disaat itulah saya selalu menemukan alasan why learning about The New Order is so fascinating. I love learning about it, but i also think it is definitely one of the least prettier times of Indonesia.

Kalau berbincang-bincang seputar Orde Baru pasti takkan jauh dari menyebut nama Soeharto. Persis seperti kata yang hampir terucap, nama itu akan terus menetap di ujung lidah.

Karena, Orde Baru adalah istilah yang dicetuskan oleh Presiden kedua Indonesia Soeharto untuk mencirikan pemerintahannya saat ia berkuasa pada tahun 1966 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998. Soeharto sendiri menggunakan istilah ini untuk membedakan kepresidenannya dengan pendahulunya Soekarno.

Di masa pemerintahan Soeharto, ia memiliki sistemnya tersendiri untuk tatanan perikehidupan rakyat, bangsa dan negaranya. Selama kurang lebih tiga dekade, setiap malam selalu turun bersamaan dengan gerutuan yang tak terdengar dan siasat yang terencana dengan baik. Dan kebaya menjadi salah satu bagiannya.

Kebayanisasi Tien Soeharto merupakan salah satu manuver politik yang terjadi pada Orde Baru, sebuah upaya terselubung.

Tien Soeharto lahir dengan nama Siti Hartinah di Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 23 Agustus 1923. Sejak hari pernikahan sampai hembusan nafas terakhirnya, ibu Tien mendampingi Soeharto selama 49 tahun di sisinya sebagai istri, ibu untuk keenam anak mereka dan Ibu Negara, serta role model bagi perempuan Indonesia pada masanya.

Selama mengemban kedudukan sebagai Ibu Negara, ibu Tien membangun imaji publik sebagai sosok yang lemah lembut dan anggun, istri yang mendampingi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya.

Penampilan khas ibu Tien yang selalu memakai satu set kebaya terdiri dari sanggul (konde), stagen, kemben, jarik, dan selop dengan hak tinggi di pertemuan publik manapun. Pertemuan formal, semi-formal, non-formal? Ibu Tien tetap pakai kebaya tradisional asal Jawa Tengah.

Ibu Tien menanam pohon dengan memakai kebaya pada Pekan Penghijauan Nasional 1980.

Semua gerak-gerik ibu Tien menjadi patokan seluruh perempuan di Indonesia. Bersikap lemah lembut, berada di samping suami setiap saat dan menggunakan kebaya yang di beberapa keadaan membatasi gerak ruang wanita merupakan upaya domestikasi perempuan Indonesia. Yang diistilahkan oleh Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme Negara atau State Ibuism.

Paham Ibuisme Negara merupakan pemahaman yang masih asing di telinga masyarakat umum. Teori ini pertama kali diperkenalkan melalui buku Julia Suryakusuma yang berjudul ‘Ibuisme Negara : Rekonstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru’

Buku ini menganalisis rezim Orde Baru di ranah privat yang menempatkan secara nyata di ranah publik. Orde Baru secara sistematis melakukan domestikasi perempuan Indonesia dengan menyentuh unit terkecil masyarakat yaitu keluarga. Masing-masing anggotanya 'dibentuk’ menjadi perpanjangan tangan negara demi stabilitas nasional. Suami mengontrol istri dan sebaliknya para ibu mengontrol ibu-ibu lain yang lebih muda. Dan paham ‘keluarga panutan’ mengontrol keluarga lainnya.

Diatas merupakan beberapa dari banyak-banyaknya iklan yang secara tidak langsung menggaungkan domestikasi perempuan Indonesia. Perempuan yang ideal ialah perempuan yang memakai kebaya, bersifat lemah lembut, melayani lelaki atau keluarganya.

Korelasi Kebayanisasi Tien Soeharto dan Ibuisme Negara bukan semata-mata dugaan tak berdasar. Karena implikasi tersebut adalah nyata.

Saya begitu menyayangkan ketika pemahaman Ibuisme Negara dianggap ‘fafifu omong kosong’ baru oleh perempuan feminis Jakarta Selatan. Padahal, hal tersebut merupakan aktualisasi dampak dari krisis yang sudah lama mengakar di Indonesia.

Dan Kebayanisasi Tien Soeharto merupakan bagian kecil dari banyaknya contoh nyata yang ada. Misal lainnya dari Ibuisme Negara adalah Dharma Wanita.

Sebab Kebayanisasi Tien Soeharto, simbolisasi tak diinginkan melekat kepada kebaya, sebagai bentuk upaya Ibuisme Negara. Ironisme paling menyedihkan ada di simbolisasi kebaya membatasi ruang gerak perempuan, dan di sisi lain kebaya yang berarti sebagian dari keberagaman budaya perempuan Indonesia dan leluhur Indonesia memperjuangkan kemerdekaan serta hak-hak perempuan juga dengan memakai kebaya.

Dan sentimen kebaya, dengan sanggul membuat perempuan sulit menatap ke atas, selop dan jarik membuat perempuan tidak bebas melangkah, korset, stagen, dan kemben membelit tubuh perempuan yang membuatnya sulit untuk bernafas lega.

Dimana rambut model sanggul pada masanya merupakan gaya rambut untuk memudahkan perempuan dengan rambut yang panjang dan kehadiran kemben sebagai piece of clothing yang digunakan menopang dada perempuan dikarenakan belum terciptanya bra.

Seringnya pemakaian kebaya oleh ibu Tien justru berdampak kepada harga dan memberikan kesan eksklusifitas. Daya beli perempuan Indonesia sebagian besarnya masih kurang memadai, sehingga hanya segelintir persen teratas perempuan Indonesia yang ikut dalam kebayanisasi tersebut.

Setelah masa Orde Baru selesai, Ibu Negara yang lainnya tidak begitu terpaku dengan kebaya tradisional yang dipakai ibu Tien pada umumnya. Mereka lebih memilih untuk memodifikasi pakaian mereka, menyatukan perpaduan kebaya tradisional dan pilihan pakaian yang lebih sesuai dengan selera masing-masing.

Pakaian yang mereka pakai menjadi simbol kebebasan perempuan Indonesia dalam mengekspresikan dirinya.

Implikasi nyata dari Kebayanisasi Tien Soeharto menciptakan apersepsi untuk eksistensi kebaya itu sendiri, perdebatan tentang identitas kebaya sebenarnya, bentuk perjuangan perempuan Indonesia atau malah upaya domestikasi perempuan Indonesia?

--

--